Selasa, 20 Agustus 2019

Bila di Linkedin Hanya Berteman Dengan Hantu?


Oleh : Bambang Haryanto

Lurker. Itukah diri Anda? 

Lurker adalah sebutan bagi pemilik akun media sosial yang hanya membaca-baca postingan orang lain dan tidak pernah tampil ikut bersuara. Ibarat jadi hantu. 

Untuk peniti karier dan pemburu pekerjaan, dengan nrimo sebagai lurker saja, duuh,  betapa potensi dahsyat dari LinkedIn ini jadi sia-sia belaka. 

Bukankah kita ingat bunyi pepatah, jauh di mata, jauh di hati?  Tak kenal maka tak sayang. Sementara Woody Allen bilang, bahwa 80 persen kunci sukses adalah mejeng. 

Mari kita mejeng di Linkedin dengan menulis. Seorang Guy Kawasaki mengajak Anda untuk menulis. 

"Menulislah! Anda tidak perlu pelatihan, izin, atau persetujuan dari siapa pun. Menulislah!"

Dia bilang, inspirasi untuk menulisnya itu dari buku If You Want to Write, karya  Brenda Ueland, guru besar kepenulisan dari University of Minnesota. Katanya, buku tersebut  telah memberdayakannya untuk berpikir secara bebas, kreatif dan berani. 

"Meskipun saya bukan 'penulis'  dalam pikiran siapa pun, termasuk saya sendiri, semangat itu saya aktifkan ketika saya menulis buku pertama saya, The Macintosh Way. 

Buku tersebut membantu saya menjadi seorang penulis dengan menghilangkan batasan yang saya tempatkan pada diri saya sendiri !"

Kita nantikan tulisan Anda. 

Minggu, 18 Agustus 2019

LinkedIn Pemicu Dusta dan Dosa?

Oleh : Bambang Haryanto 


Di media sosial lain, pesan foto di atas ini saya rasa ada benarnya. 

Ada rasa aneh, weird, saat saya kepingin atau harus memberi jempol untuk status saya sendiri. 
Apa Anda juga merasakan serupa? 

Tetapi di Linkedin saya beberapa kali membaca pesan dari para influencers dengan tips menggelitik. Yakni agar kita selalu memberi jempol untuk setiap status yang kita tulis. Juga untuk setiap menulis komentar yang kita berikan bagi status teman LinkedIn lainnya. 

Usul yang benar-benar aneh. Tapi menurut mereka, aksi menjempolin status diri sendiri itu akan mampu membuat algoritma LinkedIn menyambutnya dengan sukacita. 

Mana yang benar? 

Namun  bagi saya, menulis status asli yang pesannya sesuai aspirasi diri, bukan semata kopas atau obral jempol sana-sini, adalah pilihan yang terbaik. 

Sesudahnya, biar sejarah yang menentukannya.

Kamis, 15 Agustus 2019

Apakah koneksi identik dengan kriminalitas?

Oleh : Bambang Haryanto 



The French Connection. 
The Sicilian Connection. 
Mafia Connection. 
Chinese Connection. 
The Salzburg Connection.

Itulah sekadar ilustrasi betapa dunia layar putih banyak film bergenre thriller yang memakai judul kata koneksi itu.

Apakah, antara lain, berkat pengaruh film-film itu sehingga sebagian kita mudah menilai bahwa aktivitas berkoneksi itu berkonotasi buruk? 

Berkoneksi sebagai tindak kejahatan. Aksi gelap di bawah meja. Kongkalikong. Perilaku nepotisme. Menggusur mereka-mereka yang jujur. Menutup pintu peluang bagi mereka yang berprestasi tetapi tidak memiliki koneksi. 

Padahal di sisi lain disebut bahwa formula meraih sukses berkarier itu terdiri dari goal, berkoneksi (networking, berjejaring) dan peran mentor. 

Menurut Anda, bagaimana Anda menentukan mana aksi berkoneksi yang berkonotasi sebagai tindak kriminalitas versus berkoneksi sebagai salah satu kunci penting sukses karier Anda? 

Terima kasih sudah bersedia berbagi.


#koneksiitukunci
#menggalangkoneksi
#sukseskarier