Selasa, 31 Desember 2019

Koneksi, Kuda Pacu Terbaik Untuk Sukses Karier Anda!

Oleh : Bambang Haryanto

Saya tidak tahu nama kuda yang menjadi latar depan pemotretan matahari terbit di Gunung Bromo ini. Yang saya tahu, "A Horse With No Name" adalah salah satu lagu favorit saya dari band America. Single keduanya juga saya suka,"I Need You."

I need you like the flower needs the rain
You know I need you, guess I'll start it all again
You know I need you like the winter needs the spring
You know I need you, I need you.

Kuda menjadi metafora bukunya pakar pemasaran terkenal Al Ries dan Jack Trout berjudul Horse Sense: The Key to Success is Finding a Horse to Ride (1991). Menurutnya, untuk sukses kita harus menemukan dan menunggang kuda yang terbaik.

Kerja keras, IQ sampai ijasah termasuk kuda yang jelek. Perbandingan sukses mengandalkan hal itu hanya berkisar satu banding 50-100. 

Kuda bagus antara lain perusahaan, kreativitas, hobi dan publisitas, peluangnya satu dari 10-25. 

Kuda yang hebat adalah produk, gagasan,orang lain, mitra kerja, pasangan hidup dan keluarga. Peluang suksesnya satu dari 2-7.

Selamat memilih kuda Anda yang terbaik dan selamat berpacu di tahun 2020 yang segera tiba. Sukses untuk Anda semua.
  
 
#koneksiitukunci

Sabtu, 23 November 2019

Koneksi dan Ancaman Tertebas Pedang PHK

Oleh : Bambang Haryanto

Pedang PHK itu jatuh. Lebih dari puluhan wartawan dan staf kehilangan pekerjaan. Penetrasi dunia digital yang masif telah menggerus kue bisnis media cetak sebagai penyebab utama terjadinya PHK. 

Ada yang ikhlas. Ada yang memberontak. Ada pula, ini agak aneh,  dirinya tidak ikut kena PHK walau sebenarnya dia menginginkannya. 

Beberapa bulan kemudian niat dia untuk ikut di-PHK itu terkabul. Karena penerbitan tersebut dilikuidasi. Berhenti terbit sama sekali.

Ada kenalan saya yang ikut jadi korban PHK itu. Tetapi akhirnya bisa survive. Karena selama jadi jurnalis dia banyak berinteraksi dengan atlet, pelatih, petugas medis sampai pengurus, sampai menjadi sahabat pribadi. Kalau ada waktu luang, ia datang ke tempat latihan para atlet. Cari-cari kabar segar dan ngobrol sana-sini. Networkingnya jalan.

Ketika beberapa atlet top yang sudah pensiun ada yang membuka usaha, saudara saya itu diminta untuk menjadi konsultan humas.Juga dilibatkan dalam beragam proyek-proyek pemasaran terkait olahraga tersebut. Menjadi komentator di televisi nasional.

Sementara sebagian temannya semata menjadi wartawan an sich. Menulis berita. Browsing berita-berita dari Internet. Lebih banyak porsi waktu kerjanya ada di depan layar komputer. Sehingga ketika pedang PHK jatuh mereka tidak banyak memiliki koneksi yang bisa membantu dalam memperoleh pekerjaan barunya.

Inti pelajaran dari cerita ini : "berbisnislah" selagi Anda masih memiliki pekerjaan tetap. Terutama bisnis dalam menggalang koneksi atau jejaring di kalangan industri dan luar industri Anda. Berikan value pada mereka. 

Juga terus berinvestasi untuk bagian tubuh leher ke atas Anda!

#koneksiitukunci
#networking
#phk
#strategikarier

Kamis, 14 November 2019

Mendengar, Senjata Ampuh Menggalang Koneksi

Oleh : Bambang Haryanto

Erika. Wartawati acara hiburan televisi. Sosoknya tinggi. Menawan. Jangan bayangkan dia seperti Oriana Fallaci, wartawati asal Italia yang galak, suka berbantah dan legendaris itu.

Erika ditemani bloknot,pena dan awak kamera. Beragam pertanyaan yang dia ajukan semata membuat yang diwawancarainya merasa sebagai winner. Dia bertanya. Mendengarkan. Mencatat.

Kalau John Gray yang terkenal dengan bukunya pria dari Mars dan perempuan dari Venus pernah menulis bahwa semakin didengarkan maka semakin royal, obral, pria dalam bercerita, maka itulah yang terjadi. Erika meraup semakin banyak dan semakin kaya informasi untuk bahan mata acaranya.

Dia memperoleh berkah. Karena memberi atensi. "Salah satu wujud paling tulus dari rasa hormat adalah mendengarkan apa yang diucapkan oleh orang lain." Kata Bryant H McGill. Tapi jangan anggap mendengarkan itu mudah. Pak Covey bilang, "kita cenderung mendengarkan bukan untuk memahami,tetapi untuk bereaksi."

"Seorang pendengar yang baik," simpul Les Giblin dalam Skill With People (2001), "selalu berhasil jauh melampaui seorang pembicara yang baik dalam hal mendapatkan afeksi orang lain."

Dalam strategi berburu pekerjaan secara agresif lewat berkoneksi, Anda bisa memperoleh afeksi dari mitra atau calon bos Anda dengan bertanya,  mendengarkan dan mencatat. Meneladani apa yang dilakukan oleh Erika.

Minggu, 10 November 2019

TTS, Negroponte dan Kiat Berkoneksi

Oleh : Bambang Haryanto

Teka-teki silang. Anda menyukainya? Kalau Anda perempuan dan menyukai TTS, terimalah pujian dari aktor Hollywood Chris Pine. "Bagi saya, perempuan yang seksi adalah mereka yang pintar mengisi TTS." Hmm.

Ada orang pintar lain yang juga terkait TTS. Nicholas Negroponte, pendiri Media Lab dari MIT. Dijuluki sebagai Thomas Jefferson-nya revolusi digital. Pada tanggal 30 September 1996 dia berorasi di Jakarta.

Dalam bagian akhir buku fenomenalnya, Being Digital (1995), dia cerita tentang lomba TTS untuk mahasiswanya. Ada dua regu. Satu regu diminta mencari jawaban di perpustakaan. Regu lain, blusukan di stasiun, bertanya kepada sembarang orang yang dijumpainya.

Buku Being Digital adalah buku teknologi yang endingnya membuat saya menangis. Karena tersentuh rasa optimistis dia bahwa dunia digital akan memberi kemaslahatan bagi umat manusia.

Satu contoh, adalah cita-cita Negroponte yang ingin menyambungkan silaturahmi antar-generasi. Di AS disebut ada 30 juta pensiunan yang pengetahuan dan kearifannya masih terpendam, menunggu kontak dialog dengan generasi muda melalui dunia maya.

Cita-cita itu bisakah dikloning di negara kita? Saya tidak tahu. Sedikit ilustrasi : sebagai generasi Boomer tentu saya senang bisa bereuni dengan teman-teman lama, lewat Facebook, misalnya.

Termasuk dengan beberapa teman yang dulu sebagai bekerja di media. Tetapi mana tulisannya kini yang mantul di dunia maya? Tidak banyak dari mereka, juga para dosen dan cendekiawan lainnya, yang terus menulis secara serius di dunia maya. Kata orang, mungkin mereka dulu menulis karena mencari nafkah semata. Setelah pensiun,ya, tidak tergerak menulis lagi.

Kembali ke lomba TTS.

Pemenangnya adalah regu yang blusukan di stasiun-stasiun. Dalam konteks strategi berburu pekerjaan fakta itu mengukuhkan mantra ini : berkoneksi adalah kunci keberhasilan!

Rabu, 25 September 2019

Ketika Nama Bukan Hanya Sebuah Nama

Oleh : Bambang Haryanto

Letnan kolonel Yoseph Smith. Tegar, concierge hotel kapsul Surabaya. Pak Madi, pemeriksa tiket kereta api Stasiun Gubeng Surabaya. Rohmad. Juri.

Saya mengenal nama-nama mereka, baru-baru saja ini. Sebagian dari membaca di pakaian mereka. Atau menanyakannya. Lalu saya sebutkan nama mereka tersebut dalam percakapan.

Nama menyimpan keajaiban bagi pemiliknya. Pernahkah Anda berada di tengah jubelan orang dan tiba-tiba nama Anda disebut atau dipanggil, Anda pun dijamin segera bereaksi terhadapnya.

Nama adalah musik yang paling indah dan bahasa yang paling penting dalam setiap bahasa.Terutama bagi sang empunya. Begitu sabda Dale Carnegie.

Jadi, bila Anda mengirimkan surat lamaran dengan menyebut nama pejabat yang Anda kirimi, Anda ibarat telah  melakukan konser indah di benak dirinya. Anda. Hal ini jauh lebih berdampak baik dibanding bila Anda melakukan sebaliknya.

Saya pernah mengalami, seorang teman, kenalan, tetapi dalam setiap.kontak komunikasi dia tidak pernah mau menyebut nama saya. Saya pun berusaha memakluminya.

Bagaimana pengalaman Anda ?
Yang sudah mengalaminya, saya nantikan ceritanya ya?

Letnan kolonel Yoseph Smith. Tegar, concierge hotel kapsul Surabaya. Pak Madi, pemeriksa tiket kereta api Stasiun Gubeng Surabaya. Rohmad. Juri.

Saya mengenal nama-nama mereka, baru-baru saja ini. Sebagian dari membaca di pakaian mereka. Atau menanyakannya. Lalu saya sebutkan nama mereka tersebut dalam percakapan.

Nama menyimpan keajaiban bagi pemiliknya. Pernahkah Anda berada di tengah jubelan orang dan tiba-tiba nama Anda disebut atau dipanggil, Anda pun dijamin segera bereaksi terhadapnya.

Nama adalah musik yang paling indah dan bahasa yang paling penting dalam setiap bahasa.Terutama bagi sang empunya. Begitu sabda Dale Carnegie.

Jadi, bila Anda mengirimkan surat lamaran dengan menyebut nama pejabat yang Anda kirimi, Anda ibarat telah  melakukan konser indah di benak dirinya. Anda. Hal ini jauh lebih berdampak baik dibanding bila Anda melakukan sebaliknya.

Saya pernah mengalami, seorang teman, kenalan, tetapi dalam setiap.kontak komunikasi dia tidak pernah mau menyebut nama saya. Saya pun berusaha memakluminya.

Bagaimana pengalaman Anda ?
Yang sudah mengalaminya, saya nantikan ceritanya ya?

Selasa, 20 Agustus 2019

Bila di Linkedin Hanya Berteman Dengan Hantu?


Oleh : Bambang Haryanto

Lurker. Itukah diri Anda? 

Lurker adalah sebutan bagi pemilik akun media sosial yang hanya membaca-baca postingan orang lain dan tidak pernah tampil ikut bersuara. Ibarat jadi hantu. 

Untuk peniti karier dan pemburu pekerjaan, dengan nrimo sebagai lurker saja, duuh,  betapa potensi dahsyat dari LinkedIn ini jadi sia-sia belaka. 

Bukankah kita ingat bunyi pepatah, jauh di mata, jauh di hati?  Tak kenal maka tak sayang. Sementara Woody Allen bilang, bahwa 80 persen kunci sukses adalah mejeng. 

Mari kita mejeng di Linkedin dengan menulis. Seorang Guy Kawasaki mengajak Anda untuk menulis. 

"Menulislah! Anda tidak perlu pelatihan, izin, atau persetujuan dari siapa pun. Menulislah!"

Dia bilang, inspirasi untuk menulisnya itu dari buku If You Want to Write, karya  Brenda Ueland, guru besar kepenulisan dari University of Minnesota. Katanya, buku tersebut  telah memberdayakannya untuk berpikir secara bebas, kreatif dan berani. 

"Meskipun saya bukan 'penulis'  dalam pikiran siapa pun, termasuk saya sendiri, semangat itu saya aktifkan ketika saya menulis buku pertama saya, The Macintosh Way. 

Buku tersebut membantu saya menjadi seorang penulis dengan menghilangkan batasan yang saya tempatkan pada diri saya sendiri !"

Kita nantikan tulisan Anda. 

Minggu, 18 Agustus 2019

LinkedIn Pemicu Dusta dan Dosa?

Oleh : Bambang Haryanto 


Di media sosial lain, pesan foto di atas ini saya rasa ada benarnya. 

Ada rasa aneh, weird, saat saya kepingin atau harus memberi jempol untuk status saya sendiri. 
Apa Anda juga merasakan serupa? 

Tetapi di Linkedin saya beberapa kali membaca pesan dari para influencers dengan tips menggelitik. Yakni agar kita selalu memberi jempol untuk setiap status yang kita tulis. Juga untuk setiap menulis komentar yang kita berikan bagi status teman LinkedIn lainnya. 

Usul yang benar-benar aneh. Tapi menurut mereka, aksi menjempolin status diri sendiri itu akan mampu membuat algoritma LinkedIn menyambutnya dengan sukacita. 

Mana yang benar? 

Namun  bagi saya, menulis status asli yang pesannya sesuai aspirasi diri, bukan semata kopas atau obral jempol sana-sini, adalah pilihan yang terbaik. 

Sesudahnya, biar sejarah yang menentukannya.